Thursday, May 7, 2020

Trying To Conceive - Part 2

Tahun kelima pernikahan kami yaitu tahun 2019, kami masih belum dikaruniai anak. Akhirnya bulan Agustus kami memutuskan untuk pergi ke dokter untuk pemeriksaan kembali dan berencana melakukan program hamil. Kami mau memeriksakan diri ke dr. Ong yang 3 tahun lalu sempat kami datangi. Setelah saya menelepon Klinik Sehati maka saya diinfokan kalau dr. Ong sudah tidak melayani program hamil semacam itu. Beliau hanya mau menerima special case seperti kista, kanker rahim, dll. Mungkin beliau sudah kebanyakan pasien juga jadi dia memilih untuk kasus-kasus yang berat saja. Akhirnya setelah saya browsing maka ada beberapa referensi untuk program hamil ke dr. Handojo. Beliau praktek di Omni Hospitals dan di Klinik Sehati. Akhirnya kami putuskan untuk reservasi ke dr. Handojo dan saat akan reservasi saya tanya apakah boleh saya minta surat rekomendasi untuk saya tes HSG dan suami tes sperma sebelum konsultasi ke Beliau. Maksudnya supaya sekalian saja pas konsul tidak usah bolak balik. Surprisingly dibolehkan. Jadi setelah saya ambil surat yang dititipkan maka saya melakukan tes HSG dan suami melakukan tes sperma. Kenapa saya minta tes HSG? Teman saya yang sulit punya anak cerita kalau masalah dia adalah ada blocking di saluran tubanya sehingga sulit punya anak. Jadi saya penasaran juga dengan hal ini.

Saya melakukan tes HSG di Siloam Lippo Karawaci. Tes HSG ini dilakukan oleh radiologist. Sebelum pemeriksaan, saya reservasi dulu di Siloam. CS nya menanyakan mau dengan dokter siapa. Saya sih bebas-bebas aja karena engga tau info tentang radiologist yang bagus. CSnya kemudian bertanya mau kapan, dan di tanggal yang saya mau adanya hanya radiologist pria. Dia tanya dulu ke saya keberatan atau engga. Saya bilang engga keberatan dan akhirnya dijadwalkan di tanggal 12 September 2019 malam.

Tes HSG saya ditangani oleh dr. Rusli Muljadi. Setelah menyelesaikan pendaftaran saya diminta ke suatu ruangan yang ada alat rontgen. Saya diminta melepas celana dan menggunakan jubah putih rumah sakit. Setelah itu pemeriksaan dimulai dan tampaknya dokter memasukkan cairan menggunakan alat panjang ke vagina saya. Bagi saya rasanya cukup sakit. Setelah dimasukkan kemudian beliau dan suster segera masuk ke ruangan lain dan mesin rontgen mulai bekerja. Kemudian setelah selesai beliau segera kembali lagi. Setelah melihat hasil tampaknya salah satu saluran saya tidak kemasukan cairan yang tadi. Jadi beliau mengulang kembali rangkaian pemeriksaan. Saya merasakan kesakitan kembali. Hasilnya kemudian masih sama. dr. Rusli mengulangi kembali sampai di pemeriksaan keempat kali cairannya ditambah menjadi 5 cc, yang mana sebelumnya 2 cc. Hasilnya masih sama. Jujur saja rasanya saya kesal karena sepertinya dokter tidak profesional karena dengan diulang-ulang sepertinya masih yang baru belajar karena salah prosedur. Tapi setelah dipikir-pikir kembali saya senang dengan dr. Rusli. Kenapa? Karena dengan begini menunjukkan dia teliti sekali dalam bekerja. Dia tidak langsung percaya dengan 3 hasil pemeriksaan. Di pemeriksaan keempat setelah cairan ditambahkan dan masih saja tidak masuk ke saluran kiri maka baru dia menegakkan diagnosa bahwa saluran tuba kanan saya patent sementara saluran tuba kiri saya non patent. Artinya cairan sperma tidak bisa memasuki saluran tuba kiri saya. Hasil ini keluar sekitar 15 menit selesai pemeriksaan. Setelah menyelesaikan pemeriksaan saya menangis karena rasanya cukup sakit tadi saat di dalam. Untung saya ditemani suami sehingga dia membantu menenangkan saya. Biaya yang dikeluarkan seharusnya 2 juta, namun karena sedang ada promo kartu kredit maka diskon menjadi 1,8 juta. Setelah saya melihat hasilnya dan googling, di rumah saya menangis karena saya tidak menyangka saluran tuba saya ada yang tersumbat. Ada rasa menyalahkan diri dan kesal. Kenapa saya bisa punya saluran tuba yang salah satunya tersumbat. Tapi ada juga suara di hati saya yang mengatakan harusnya saya bersyukur, setidaknya saya masih punya 1 saluran yang patent sehingga bisa dilalui sperma. Kalau 2 saluran saya tersumbat bagaimana? Makin susahlah saya punya anak. Puji Tuhan suami dan orang tua saya juga memberi dukungan untuk saya.

Giliran suami saya yang kemudian melakukan tes sperma. Dia melakukan tes sperma di Prodia. Hasilnya bentuk, jumlah, dan gerakan sperma suami saja kurang bagus. Pas sebelum tes sperma dia memang kecapean karena dari luar kota dan kurang tidur. Saya engga tau ngefek atau enggak. Tapi emang mostly dia selalu kecapean karena kerjaannya. Jadi ya udah diterimain aja.

Dengan berbekal kedua hasil tersebut, maka kami datang ke dr. Handojo di Klinik Sehati pada saat masa subur saya. Tidak butuh waktu lama untuk menunggu. Saya langsung dicek menggunakan USG transvaginal. Hasilnya sel telur saya kecil-kecil. Setelah dr. Handojo membaca hasil tes HSG dan tes sperma suami saya, beliau langsung berkata kasus kami ini berat sekali. Berat karena sperma kurang bagus dan kalaupun bisa masuk ke saluran tuba pun cuma bisa lewat yang kanan. Kalaupun berhasil masuk lewat saluran tuba kanan, sel telur saya kecil sehingga susah banget bakal jadi janin. Istilahnya begitu. Satu-satunya cara untuk memiliki anak adalah lewat IVF atau bayi tabung. Saat bicara dokter ini menurut saya blak-blakan sekali dan dingin. Saya tidak merasakan empati atau cara bicara yang berusaha menenangkan saya. Jujur pasangan mana yang tidak sedih apabila mendapat diagnosa seperti itu dan dikomunikasikan dengan cara yang bagi saya kurang enak. Beliau mengatakan program hamil dan inseminasi itu kemungkinan berhasilnya sangat kecil jadi lebih baik langsung saja untuk program IVF.  Di bayangan saya sebelumnya kalaupun saya dan suami dan masalah maka yang akan kami lakukan adalah mencoba promil 3 kali, inseminasi, baru terakhir IVF. Ini belum belum lagsung diminta IVF. Kalau IVF murah dan hasilnya sudah pasti berhasil hamil sih ok ok aja. IVF kan mahal dan keberhasilannya pun masih sekitar 50%. Mana kami belum mencoba cara biasa seperti promil dll. Rasanya sedih, kesal, tidak terima, ingin marah berkecamuk di hati saya. Sebenarnya beliau tidak masalah apabila ingin promil dulu dan dia memberikan beberapa resep obat namun ia menegaskan kemungkinan berhasilnya kecil. Akhirnya setelah kami berdua berdiskusi maka kami putuskan untuk tidak ambil obatnya dulu.  Saya berusaha menenangkan diri dan menangis saat perjalanan pulang. Rasanya tidak terima dengan hasil diagnosanya!

Keesokan paginya setelah suasana hati saya lebih tenang maka saya dan suami berdiskusi. Kami memutuskan untuk mencari second opinion dari obygyn lain. Saya browsing-browsing dan suami juga bertanya ke temannya yang pernah mengalami hal yang sama. Akhirnya kami putuskan untuk konsultasi ke dr. Budijanto Chandra. Beliau praktek di Siloam Karawaci. Untungnya hari itu juga dia praktek jadi tidak berlama-lama kami langsung daftar ke Siloam. 

Seperti sebelumnya dr melakukan pemeriksaan USG transvaginal dan hasilnya pun sama seperti kemarin yaitu sel telur saya kecil-kecil. Ia pun membaca hasil HSG dan hasil tes sperma. Kemudian dia menjelaskan bahwa dengan kasus saya dan suami maka jalan tercepat adalah program IVF. Dia menjelaskan bahwa umur kami sudah di atas 30 tahun jadi daripada membuang waktu lebih baik untuk IVF saja. Beliau menjelaskan dengan nada yang cukup nyaman dan tenang sehingga saya pun cukup tenang mendengarnya. Dia tidak mengatakan kasus kami berat seperti kemarin sehingga kami tidak merasa dihakimi. Kalaupun mau promil dulu pun tidak apa-apa cuma nanti takutnya makan waktu sementara kami sudah 32 tahun dan sayang kalau ternyata gagal. Akhirnya setelah diskusi maka kami memutuskan untuk promil saja dulu. Rasanya kami juga belum siap mental untuk IVF. Dokter pun setuju dan akhirnya beliau merekomendasikan untuk saya dan suami melakukan tes hormon. Beliau juga menyarankan suami untuk memeriksakan diri ke androlog untuk pemeriksaan testis terutama untuk pengecekan varikokel. 

Selanjutnya akan saya bahas di post berikutnya ya :)

No comments:

Post a Comment